Jakarta – Gerakan Pemuda Mahasiswa Indonesia (GPMI) menggelar diskusi interaktif bertajuk “Menguji Kekuatan Perpres No. 5 Tahun 2025: Negara di Mana Saat Rakyat Menjerit di Kawasan TN-TN?” di Hotel Grand Kasira, Jakarta, Sabtu (28/6/2025). Diskusi ini menyoroti dampak kebijakan penataan kawasan hutan terhadap masyarakat yang bermukim di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau.
Acara tersebut menghadirkan sejumlah pembicara nasional, antara lain Pembina GPMI Ir. Robert Hendrico, Dewan Pakar GPMI Pusat Fathur Rahman Abdal, S.H., Ketua Umum GPMI Rahmat Pratama, serta Sekretaris Jenderal GPMI Mulyadi. Diskusi difokuskan pada ketegangan antara penegakan hukum lingkungan dan pemenuhan hak hidup masyarakat.
Sebagaimana diketahui, Satuan Tugas Penanganan Kawasan Hutan (Satgas PKH) pada 10 Juni 2025 menyita sekitar 81.793 hektare lahan di kawasan TNTN. Penyitaan ini meliputi permukiman dan kebun kelapa sawit milik ribuan warga di Dusun Toro Jaya, Desa Lubuk Kembang Bunga.
Langkah tersebut memicu protes dari masyarakat. Mereka menolak relokasi mandiri dan menuntut kejelasan atas status tanah yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun. Warga mengaku hak atas tempat tinggal, pendidikan, dan rumah ibadah mereka terganggu tanpa adanya pendekatan dialog dari pemerintah.
Dalam diskusi tersebut, GPMI mengidentifikasi lima persoalan utama yang terjadi di kawasan TNTN, yaitu:
1. Perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk sawit ilegal.
2. Konflik manusia dan satwa akibat hilangnya habitat.
3. Penerbitan SKT dan SHM ilegal yang diduga melibatkan aparat.
4. Dugaan korupsi dalam proses legalisasi tanah.
5. Keberadaan permukiman tanpa kepastian hukum.
Ir. Robert Hendrico menyatakan bahwa negara tidak boleh hadir hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung rakyat.
“Perpres No. 5 Tahun 2025 harus memberikan solusi menyeluruh. Jika rakyat digusur, negara wajib menjamin tempat tinggal dan keberlangsungan ekonomi mereka,” ujarnya.
Fathur Rahman Abdal menyoroti lemahnya kontrol administratif terhadap regulasi kawasan hutan.
“Korupsi dalam penerbitan sertifikat ilegal harus diusut. Tapi petani kecil tidak boleh jadi korban ketidaktegasan birokrasi masa lalu,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum GPMI Rahmat Pratama mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog dengan masyarakat terdampak.
“Tidak boleh ada kebijakan yang dibuat tanpa mendengar suara mereka yang hidup di garis depan,” katanya.
Sekjen GPMI, Mulyadi, meminta pemerintah daerah turut aktif memperjuangkan nasib rakyat.
“Gubernur Riau dan Bupati Pelalawan harus jadi garda terdepan. GPMI siap menjadi mitra kritis,” ucapnya.
GPMI menyoroti sejumlah regulasi sebagai dasar hukum yang relevan, di antaranya. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penataan Kawasan Hutan dan Reforma Agraria. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Adapun lima tuntutan utama yang disampaikan GPMI, meliputi:
1. Fasilitasi dialog nasional antara warga terdampak, Presiden, dan DPR RI.
2. Jaminan solusi relokasi yang manusiawi dan layak.
3. Penindakan atas praktik korupsi dalam penerbitan SKT dan SHM ilegal.
4. Pelibatan masyarakat lokal dalam penyusunan kebijakan konservasi.
5. Penghentian kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
GPMI menegaskan bahwa negara harus hadir bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga dengan memberikan keadilan sosial. Perpres No. 5 Tahun 2025 diharapkan tidak menjadi sekadar alat penertiban, melainkan menjadi instrumen solusi yang berpihak pada masa depan rakyat di sekitar kawasan konservasi.
(Red)